Divisi SDA dan Linkungan

Posted by LBH Kaltim On Mei - 25 - 2009

This feature post, temporary under reconsruction

Divisi Perburuhan

Posted by LBH Kaltim On Mei - 20 - 2009

Seri tulisan politik adalah kategori gagasan dan pandangan terhadap realitas politik perburuhan di Indonesia hari ini. Kaum mapan (borjuasi) telah membangun tembok angkuh yang menenggelamkan kepentingan pekerja selama bertahun-tahun. Untuk itu, perjuangan dalam mewujudkan kesejejahteraan pekerja, adalah bagian dari tanggung jawab kami....

Seri Tulisan Daerah

Posted by LBH Kaltim On Mei - 24 - 2009

Seri Tulisan Daerah ini, tentu akan lebih banyak mengupas tentang situasi Kalimantan Timur, tempat saya bermukin saat ini. Lebih tepatnya, seri ini adalah ide dan gagasan soal fenomena social yang tengah terjadi di daerah, khusunya menyangkut kemiskinan, pengangguran dan kesejahteraan. Kemiskinan merupakan bentuk langsung dari ketidakstabilan ekonomi (unstabilished economic). Meningkatnya kriminalitas, dekadensi moral dan etika, ketidakpercayaan diri secara massal, serta lemahnya produktivitas dan kreatifitas, adalah buah dari kemiskinan…

Kumpulan UU dan Peraturan

Posted by LBH Kaltim On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

LBH Kaltim On Action

Posted by LBH Kaltim On Month - Day - Year

POST-SUMMARY-HERE

Oleh: Sundari Rahmawati*

Hutan dan lahan di Kaltim sudah banyak yang terbuka akibat usaha pertambangan. Daerah Kalimantan Timur memiliki banyak hasil tambang dan bahan galian yang tersebar di beberapa kabupaten/kota. Kekayaan minyak bumi dan gas alam di Kaltim terdapat di pantai timur, termasuk di daratan sekitar Balikpapan, Pulau Bunyu, Pulau Tarakan, dan Bontang, serta di daerah lepas pantai yang memanjang dari utara sampai selatan. Begitu juga dengan tambang batubara, tambang tersebut ditemukan di beberapa daerah, antara lain di Kutai, Pasir, Berau, Bulungan dan Kota Samarinda. Endapan bahan galian golongan C banyak terdapat di Kabupaten Pasir, Berau, Kutai, Kota Samarinda dan Kota Balikpapan. Namun kekayaan alam yang begitu melimpah ruah ternyata tidak serta merta membuat masyarakatnya ikut tersejahterakan kalitas hidupnya. Hanya sedikit (mungkin) trickle down effect yang dirasakan manfaatnya, dan yang menjadi alasan pemerintah untuk tetap mempertahankan keberadaan perusahaan tambang adalah PAD sekitar 348 miliar. Padahal justru yang lebih banyak terdengar adalah masyarakat sebagai “korban kejahatan lingkungan”. Selama ini yang menjadi “andalan” bagi perusahaan (exploitasi SDA) adalah program CSR nya, sehingga dengan demikian perusahaan beranggapan telah melaksanakan “kewajibannya” sebagai bentuk kompensasi atas kegiatan penghancuran lingkungan. Beberapa tahun belakangan, kegiatan pengusahaan SDA (terutama pertambangan) dilakukan dengan sangat massif, baik legal maupun illegal, semassif kerusakan ingkungan yang dirasakan hingga saat ini.

Bidang pertambangan yang semula kurang terabaikan, kini menjadi perhatian. Baik perusahaan besar maupun kecil berlomba mendapatkan lahan usaha seperti pertambangan emas dan batubara serta aneka jenis tambang lainnya.Di Kaltim hingga tahun 2008 telah dikeluarkan izin untuk Usaha Pertambangan Umum sebanyak 44 ijin perusahaan dan yang sudah melakukan eksploitasi sebanyak 23 perusahaan, sedangkan sisanya lagi masih dalam tahap eksplorasi. Penambangan batubara sejak tahun 1995 terus meningkat setiap tahunnya, bahkan sampai dengan tahun 2008 ini telah menguasai hingga seluas 66,5% dari total seluruh kawasan kota Samarinda. Keadaan ini jelas sangat merugikan bagi kota Samarinda dan menguntungkan bagi pihak perusahaan karna pasca penambangan tidak dilakukan kegiatan reklamasi, hal ini dikarenakan wilayah Samarinda yang merupakan perkotaan. Hal inilah kemudian yang mengakibatkan banjir cepat melanda ketika terjadi hujan dan tak jarang juga terjadi longsor karna hilangnya kemampuan tanah dalam upaya menahan laju air.

Belum lagi persoalan lain yang timbul selain dari permasalahan kerusakan lingkungan. Sebagai contoh, Wilayah operasi pertambangan yang seringkali tumpang tindih dengan wilayah hutan serta wilayah hidup masyarakat adat dan lokal telah menimbulkan konflik atas hak kelola dan hak kuasa masyarakat setempat. Tidak adanya pengakuan pemerintah terhadap hak-hak masyarakat adat atas wilayah hidup mereka menyebabkan pemberian wilayah konsesi dengan semena-mena tanpa ada persetujuan dari masyarakat. Kelompok masyarakat harus terusir dan kehilangan sumber-sumber kehidupannya, akibat operasi pertambangan. Hanya satu penyebabnya, yaitu REGULASI yang sangat kental dengan kapitalistik dan tidak berpihak kepada masyarakat. Seolah meminggirkan hak-hak masyarakat atas sumber penghidupan. Ada banyak sekali kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah (pusat dan daerah) yang semakin memperparah kondisi lingkungan, dan (masih) belum ada solusi untuk merubah keadaannya menjadi lebih baik.

Pengerukan atas SDA ini terus dilakukan dengan dalih pembangunan dan selebihnya adalah untuk memenuhi pundi-pundi kas Negara untuk membayar hutang-hutang yang tak kunjung lepas. Hanya dari sector lingkungan sajalah pemerintah bisa mendapatkan income yang “lumayan” jika dibanding dengan pemasukan dari sector lainnya. Kegiatan pertambangan dalam dua dekade terakhir ini semakin menarik perhatian banyak pihak. Hal ini disebabkan adanya paradoks dalam kegiatan eksplorasi pertambangan yang seringkali berbenturan dengan kepentingan konservasi sumberdaya alam dan pengelolaan lingkungan hidup.

Dampak langsung kegiatan pertambangan diantaranya kerusakan ekologis seperti berkurangnya debit air sungai dan tanah, pencemaran air laut, kerusakan hutan hingga sedimentasi tanah masih menjadi masalah yang belum terpecahkan secara tuntas. Fakta yang paling merisaukan kini adalah dampak buruk berantai dalam jangka panjang. Intensitas dampak eksplorasi pertambangan (terutama emas dan tembaga) tidak hanya merubah derajat kualitas sumber daya alam dan lingkungan hidup yang merugikan generasi masa kini tetapi juga kerugian bagi generasi yang akan datang. Pelajaran mengajarkan bahwa kegiatan pra-ekplorasi telah memicu deforestation, sebab kandungan emas, tembaga dan mineral berada dalam tanah pada kedalaman dan lapisan tertentu dari perut bumi. Selain itu juga dijumpai fakta di berbagai kawasan pertambangan selalu menjadi kantong kemiskinan massif.

Bentuk kemiskinan massif ini ditandai dengan munculnya masalah kelaparan ditengah kemewahan, putus sekolah massal ditengah pemborosan anggaran pendidikan, keringkihan massal ditengah gaya hidup royal dan boros kaum pemodal. Belum lagi kemiskinan akibat kehilangan sumberdaya untuk memberdayakan diri dan mempertahankan hidupnya, hilangnya akses untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan dan pemanfaatan sumberdaya yang ada adi sekitarnya. Sedihnya, fakta demikian terjadi pada hampir seluruh kawasan dimana kaum pemodal sektor pertambangan melakukan explorasi (terutama bahan logam ). Pada decade ini, explorasi mineral meningkat tanpa kendali. Kebijakan dapat “dibeli” bahkan sengaja dibuat untuk “mengamankan” kegiatan usaha pemodal. Kegiatan Corporate Sosial Responsibility (CSR) juga dianggap mandul, karna dinilai hanya sebagai upaya “tutup mulut” atas bentuk konversi dari dampak lingkungan yang semakin rusak parah.
Namun belakangan ini beberapa kelompok masyarakat ada yang sudah mulai berani secara terang-terangan melakukan “perlawanan” terhadap perusahaan pertambangan yang beroperasi di sekitar wilayah mereka. Kegiatan yang dianggap meresahkan wilayah hidup mereka, mereka jadikan sebagai senjata ampuh untuk menolak keberadaan perusahaan pertambangan atau paling tidak menuntut untuk dilakukan penghentian sementara terhadap kegiatan penambangan sampai dilakukannya perbaikan atau pemulihan kondisi lingkungan. Namun ada juga masyarakat yang masih dalam keadaan “tak berdaya” untuk melakukan “perlawanan”, hal ini karena keterbatassan atau kurangnya informasi terhadap dampak pertambangan, tidak mempunyai informasi hukum dan bantuan yang berkaitan dengan hukum, atau tinggal di daerah yang jauh dan terbatas dari kemudahan untuk mendapatkan bantuan hukum & administrasi, terutama dalam melakukan negoisasi dengan perusahaan “raksasa”.

Saat ini dampak kegiatan pertambangan emas dan tembaga memang diakui telah memberikan keuntungan ekonomi sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan yang penting, namun tak dapat dipungkiri pula bahwa side effect lain terhadap penurunan kualitas lingkungan hidup (ecocide) dan hilangnya akses masyarakat lokal terhadap sumberdaya mereka yakni tanah dan air juga terjadi secara selaras dengan penerimaan yang diperoleh.

Beberapa masukan atas persoalan ini bisa dimulai dengan: pembenahan regulasi yang masih dipandang menguntungkan dari sisi pihak pemodal sedangkan disatu sisi lainnya (masyarakat) posisinya dilemahkan; melaksanakan audit lingkungan terhadap akibat yang ditimbulkan dari kegiatan pertambangan, baik terhadap perusahaan skala kecil maupun skala besar; malakukan peninjauan kembali terhadap amdal; dan yang terakhir adalah menghentikan sementara (moratorium) pengeluaran ijin-ijin operasi baru sampai dilaksanakannya pemulihan kondisi lingkungan secara tuntas dan hal lain paling mendasar adalah setiap perusahaan yang telah memperoleh keuntungan cukup besar dari kegiatan bisnisnya memiliki kewajiban dan tanggungjawab mutlak terhadap konservasi lingkungan alam dan lingkungan sosialnya. Kesemuanya ini akan dengan mudah dapat diwujudkan asal ada political will dari pemerintah.


* Penulis adalah Aktivis Walhi Kaltim Sekarang Bergiat Pula di Divisi Lingkungan & SDA LBH Kaltim

Baca lebih lanjut....

Keadilan hukum : surga telinga masyarakat

Diposting oleh Lembaga Bantuan Hukum Kalimantan Timur On 21.01 1 komentar

(Potret Penegakan Hukum Yang Semakin Suram)

Hukum Bagi Si Kaya vs Hukum Bagi Si Miskin
Disadur dari : http://www.tribunkaltim.co.id.

Pada hakekatnya hukum merupakan penceminan dari jiwa dan pikiran rakyat (volkgeist). Konstitusi dasar Negara kita, secara tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara yang berlandaskan hukum (Rechtstaats). Salah satu unsur yang dimiliki oleh negara hukum adalah pemenuhan akan hak-hak dasar manusia (fundamental rights). Namun situasi dan kondisi Negara kita hari ini, justru semakin menjauhkan masyarakat (terutama masyarakat miskin) dari keadilan hukum (justice of law), serta hak dasar lainnya di bidang ekonomi, social dan budaya (ekosob). Masyarakat miskin, marginal, terpinggirkan dan yang sengaja dipinggirkan, belum mempunyai akses secara maksimal terhadap peradilan dan keadilan. Keterbatasan tersebut disebabkan beberapa faktor, seperti masih rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang sistem peradilan, sistem peradilan yang belum transparan dan akuntabel serta birokrasi peradilan yang mahal dan berbelit-belit. Problematika penegakan hukum di Indonesia, memang telah menjadi buah bibir di tengah masyarakat kita. Ucapan-ucapan miris masyarakat seperti, “Hukum Hanya Menjadi Milik Mereka Yang Berduit”, menjadi wajar jika kita menyimak lebih jauh dan mendalam kasus-kasus hukum yang terjadi belakangan ini. Begitu mudahnya para pejabat lepas dari jeratan hukum, menjadikan masyarakat kita semakin apatis dan tidak percaya dengan lembaga-lembaga serta aparatur hukum yang ada, baik polisi, jaksa, hakim hingga advokat. Penegakan hukum (law inforcement), menjadi sebuah pekerjaan rumah yang terasa sangat sulit untuk dilakukan. Masyarakat toh pada akhirnya berpikir, hanya akan menjadi obyek terhadap kasus yang dihadapinya, yang tentunya berimplikasi terhadap hak-hak mereka. Sementara pada sisi lain, institusi peradilan kita, justru semakin mematikan upaya masyarakat dalam meraba dan mencari keadilan dalam ranah hukum yang seharusnya layak untuk didapatkan oleh mereka, seolah-olah lembaga peradilan berada di ruang kosong dan hampa.

Masyarakat pada akhirnya justru semakin enggan, bahkan tak sedikit yang muak dan jenuh untuk memperjuangkan nasib dan kepentingannya melalui jalur hukum. Hal ini terjadi karena materi hukum yang tidak responsif dan hanya menguntungkan segelintir orang yang kita sebut sebagai “orang berduit” saja. Disamping itu, intervensi pejabat atau kekuatan politik tertentu serta integritas aparat penegak hukum yang masih sangat lemah, juga menjadi kendala utama yang semakin membuat hukum tak ubahnya seperti “Macan Ompong”. Keadilan kemudian menjadi sesuatu yang mahal (lux), eksklusif dan formalistik, jauh dari masyarakat marjinal. Akibatnya, akses masyarakat terhadap keadilan hukum masih sangat jauh, masyarakat dibatasi oleh pengetahuan hukum dan keterampilan advokasi yang minim, biaya berperkara yang mahal, serta prilaku bikrokasi peradilan yang korup.

Hukum ; Barang Mahal yang Semakin Mahal
Sebagaian masyarakat kita yang selalu berujar bahwa, “seorang pencuri ayam, 1000 kali lipat jauh lebih mudah ditangkap dibanding seorang koruptor kelas kakap”, adalah hal yang wajar dan berlandaskan fakta. Mungkin ungkapan ini terkesan usang dan kuno, namun mengandung pesan tersirat yang begitu dalam bagi potret penegakan hukum di Negara kita, khususnya di Kaltim. Betapa tidak, jika kita berkaca pada sejumlah kasus-kasus hukum, terkhusus soal tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para pejabat elit, maka kita akan merasa, kalau hukum tidak berarti apa-apa bagi mereka. Ada beberapa hal yang menyebabkan fenomena ini terjadi, antara lain ; Pertama, hukum telah menjadi barang dagangan yang dapat diperjual belikan kepada siapa saja. Hal ini memang telah menjadi tradisi yang mengakar, dan sengaja dibangun oleh pemerintah sejak zaman kolonial, hingga saat ini. Budaya sogok-menyogok perkara dan jual-beli kebebasan, telah menjadi hal yang biasa bagi yang bermasalah dengan hukum. Ini juga tergantung siapa, dan seberapa besar nominal rupiah yang ditawarkan. Coba anda perhatikan seorang pejabat yang terkena jeratan hukum, jauh lebih tenang jika dibandingkan dengan masyarakat awam. Kenapa ? karena mereka merasa mampu membeli dan mempermainkan institusi peradilan kita. Hukum masih terlalu mendewakan “Harta dan Kekayaan”, daripada esensi keadilan yang semestinya ditegakkan. Kedua, hukum diposisikan sebagai sub-ordinat dari kekuasaan. Penguasa cenderung membentengi dirinya dengan aturan-aturan hukum yang tentu akan mengabdi sepenuhnya kepada kepentingan kelompok dan golongannya sendiri. Logika yang kemudian bermain adalah, “apakah mungkin seorang maling mengadili sesama maling???”, “apakah mungkin pula seorang penjahat menjerat penjahat lainnya?”. Bisa jadi maling memiliki kode etik sendiri yang melarang sesamanya untuk saling menangkapi. Wajar saja jika koruptor-koruptor kakap hingga hari ini tidak pernah tersentuh oleh hukum. Kalaupun ada, kasus mereka-pun terkesan hanya sekedar sandiwara yang lama-kelamaan akan dikaburkan begitu saja dengan alasan tak cukup bukti atau alasan lainnya yang tak masuk akal (absurdities of law).

Membumikan Hukum
Hukum pada dasarnya merupakan petunjuk hidup dalam bentuk aturan tertulis bagi masyarakat. Ibarat alkitab, hukum merupakan Al Qur’an bagi ummat Islam, Injil bagi ummat Kristen, Zabur bagi ummat Hindu, atau Wedana bagi ummat Budha. Hukum dilahirkan dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan sosial dalam masyarakat, untuk itu hukum tidak boleh dimonopoli, diproduksi dan dibentuk sedemikian rupa hanya untuk dikonsumsi dan menjadi komoditas bagi kalangan tertentu saja demi kepentingannya semata.

Kedepan, pemerintah seharusnya lebih pro-aktif memperluas akses masyarakat miskin terhadap sistem peradilan dan keadilan. Bentuk konkretnya antara lain, terus mendorong adanya sistem peradilan dan keadilan yang dapat diakses masyarakat kebanyakan: cepat, sederhana dan biaya ringan. Dengan demikian, ada tiga prinsip utama yang harus menjadi pertimbangan dalam sebuah proses hukum, antara lain:
(1) Karena pada dasarnya hukum merupakan proses sosial yang berbasis kepada kpentingan kolektif, maka harus dibuka peluang yang seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat dari semua lapisan dalam proses pembentukan dan perumusan aturan-aturan hukum. Tanpa keterlibatan masyarakat dalam pembentukan aturan-aturan hukum itu, maka masyarakat tak ubahnya dijadikan objek penderita semata yang dirugikan oleh kebijakan dan aturan yang dibuat bukan untuk dirinya.
(2) Dalam penerapan hukum oleh lembaga formal, pejabat hukum formal tidak semata-mata berpedoman pada pasal-pasal peraturan tertulis, melainkan harus terus-menerus menggali jiwa hukum dan rasa keadilan yang berkembang dalam suatu masyarakat.
(3) Perlu adanya kebebasan yang diberikan kepada masyarakat luas, baik kepada personal, ormas, NGO/LSM, Akademisi dll, dalam upaya bergerak melakukan pendataan serta mengkampanyekan secara terbuka mengenai pelanggaran-pelanggaran hukum yang terjadi, tanpa mengenal jabatan, kedudukan dan struktur dari orang atau institusi yang melakukan pelanggaran.
(4) Dalam proses peradilan sebagai media penegakan hukum, paradigma yang harus dikembangkan dan digali adalah konsep penerapan prinsip keadilan dan kejujuran para penegak hukum (fair trial), sebagai pedoman pelaksanaannya. Masih banyak terjadi diskriminasi dalam penegakan hukum di Indonesia, termasuk di kalimantan Timur sendiri, yang sering kali dilakukan aparat penegak hukum itu sendiri. Padahal, Konstitusi dan Undang-Undang telah dengan tegas mewajibkan proses peradilan yang adil, terkecuali bagi siapa pun. Perintah peraturan perundang-undangan tersebut memperjelas bahwa negara menjamin perlindungan hak warga negara melalui proses peradilan yang adil tanpa ada kecualinya.

Jika konsepsi dasar dari konteks hukum dan peradilan kita tidak mampu dibenahi sekarang juga, maka pantaslah jika kita menyebut keadilan hukum sebagai “surga telinga”, yang hanya terdengar indah ditelinga, namun fakta empirisnya-nya begitu tak sedap dan tak nyaman dihati masyarakat.

Baca lebih lanjut....